Al-Ustadz
Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Bercanda atau
bersenda gurau adalah salah satu bumbu dalam pergaulan di tengah-tengah
masyarakat. Ia terkadang diperlukan untuk menghilangkan kejenuhan dan
menciptakan keakraban, namun tentunya bila disajikan dengan bagus sesuai porsinya
dan melihat kondisi yang ada. Sebab, setiap tempat dan suasana memang ada
bahasa yang tepat untuk diutarakan. Khalil bin Ahmad berkata, “Manusia dalam
penjara (terkekang) apabila tidak saling bercanda.” Pada suatu hari, al-Imam
asy-Sya’bi rahimahullah bercanda, maka ada orang yang
menegurnya dengan mengatakan, “Wahai Abu ‘Amr (kuniah al-Imam asy-Sya’bi,
-red.), apakah kamu bercanda?” Beliau menjawab, “Seandainya tidak seperti ini,
kita akan mati karena bersedih.” (al-Adab asy-Syar’iyah,
2/214) Namun, jika sendau gurau ini tidak dikemas dengan baik dan menabrak
norma-norma agama, bisa jadi akan memunculkan bibit permusuhan, sakit hati, dan
trauma berkepanjangan.
Pada dasarnya,
bercanda hukumnya boleh, asalkan tidak keluar dari batasan-batasan syariat. Sebab,
Islam tidak melarang sesuatu yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh manusia
sebagaimana Islam melarang hal-hal yang membahayakan dan tidak diperlukan oleh
manusia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bergaullah kamu dengan
manusia (namun) agamamu jangan kamu lukai.” (Shahih al-Bukhari,
Kitabul Adab)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat Bercanda Manakala
kita membuka kembali lembaran sejarah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan mendapati bahwa
beliau adalah sosok yang bijak dan ramah dalam pergaulan. Beliau bisa
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mendudukkan orang sesuai kedudukannya.
Beliau berbaur dengan sahabat dan bercanda dengan mereka. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Nabi n bergaul (dekat) dengan kita. Sampai-sampai
beliau mengatakan kepada adikku yang masih kecil, ‘Wahai Abu Umair, apa
yang dilakukan oleh an-Nughair?’.” (Shahih al-Bukhari no.
6129) An-Nughair adalah burung kecil sebangsa burung pipit. Alkisah, Abu Umair
ini dahulu bermain-main dengan burung kecil miliknya. Pada suatu hari burung
itu mati dan bersedihlah dia karenanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengetahui hal itu mencandainya
agar tenteram hatinya dan hilang kesedihannya. Maha benar Allah Subhanahu wata’alaketika berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu
benarbenar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Memang,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat dekat dengan para sahabatnya
sehingga tahu persis kebutuhan dan problem yang mereka hadapi, kemudian beliau
membantu mencarikan jalan keluarnya. Masih kaitannya dengan senda gurau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
ada beberapa riwayat yang diabadikan oleh ulama hadits, di antaranya:
1. Dari Anas
bin Malik, ia berkata,
“Sungguh, ada seorang lelaki
meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah kendaraan untuk dinaiki. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengatakan, ‘Aku akan memberimu kendaraan
berupa anak unta.’ Orang itu (heran) lalu berkata, ‘Apa yang bisa saya perbuat
dengan anak unta itu?’ Nabi n bersabda, ‘Bukankah unta betina
itu tidak melahirkan selain unta (juga)?’.”(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi,
dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al- Misykatno. 4886)
Orang ini menyangka bahwa yang namanya anak unta mesti kecil,
padahal kalau sedikit berpikir, dia tidak akan menyangka seperti itu, karena
unta yang dewasa juga anak dari seekor unta. Dalam hadits ini, di samping
mencandai orang tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi bimbingan kepadanya dan
yang lainnya agar orang yang mendengar suatu ucapan seyogianya mencermati lebih
dahulu dan tidak langsung membantahnya, kecuali setelah tahu secara mendalam
maksudnya. (Tuhfatul Ahwadzi 6/128)
2. Dahulu, ada
seorang sahabat bernama Zahir bin Haram radhiyallahu ‘anhu.
Dia biasa
membawa barang-barang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari badui (pedalaman) karena dia
seorang badui. Apabila Zahir ingin pulang ke kampungnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersiapkan barang-barang yang
dibutuhkan Zahir di tempat tinggalnya. Zahir ini jelek mukanya, tetapi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyenanginya. Pada suatu hari ia
datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjual barang dagangannya.
Diam-diam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallammendekapnya
dari belakang. Zahir berkata,“Siapa ini? Lepaskan saya!” Zahir lalu menoleh,
ternyata ia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Zahir pun menempelkan
punggungnya pada dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa yang mau membeli budak
ini?” Zahir berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau begitu, niscaya
engkau akan mendapatiku sebagai barang (budak) yang tidak laku dijual (karena
jeleknya wajah).” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Akan tetapi, engkau di sisi
Allah Subhanahu wata’ala bukan
orang yang tidak laku dijual.”—atau beliau bersabda—”Akan tetapi, engkau di
sisi Allah Subhanahu wata’ala itu mahal.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad 3/161 dan al-Baghawi dalam Syarhu as-Sunnah)
Di sini, di samping bercanda dengan ucapan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bercanda dengan perbuatan. Ini
adalah sebagian contoh senda guraunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan, perlu diketahui bahwa senda gurau beliau adalah haq, bukan kedustaan.
At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari jalan Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa
para sahabat bertanya,“Wahai Rasulullah, Anda mencandai kami?” Beliau bersabda,
إِنِّي لَا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا
“Saya tidak berkata selain
kebenaran.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no.
1990)
Seolah-olah, mereka ingin mengatakan bahwa tidak pantas bagi beliau
yang membawa risalah (tugas) dari Allah Subhanahu wata’ala dan mulia kedudukannya di sisi
Allah Subhanahu wata’ala untuk
bercanda. Beliau pun
mengatakan bahwa beliau memang bercanda, namun tidak mengatakan kecuali
kebenaran. (lihat Syarhul Misykat karya
ath-Thibi, 10/3140) Demikian
juga para sahabat. Bakr bin Abdullah mengisahkan, “Dahulu para sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (bercanda dengan) saling
melempar semangka. Tetapi, ketika mereka dituntut melakukan sesuatu yang serius,
mereka adalah para lelaki.” (lihat Shahih al-Adabul al-Mufrad no. 201)
Kisah di atas
menunjukkan bolehnya bercanda dengan perbuatan sebagaimana ucapan.
Namun, tidaklah seluruh waktupara sahabat habis untuk bersenda gurau. Mereka
hanyalah melakukannya kadangkadang. Dan tampaknya, mereka di sini tidak
saling melempar buah semangka, namun hanya kulitnya. Wallahu a’lam. Bolehnya
bercanda juga tidak bisa menjadi alasan untuk menjadikannya sebagai profesi
(sebagai pelawak/ komedian, -red.). Ini adalah sebuah kekeliruan. (Fathul Bari 10/527)
Bercanda Ada Batasannya
Ada beberapa
hal yang semestinya diperhatikan oleh seorang ketika bercanda, di antaranya:
1.
Tidak bercanda dengan ayat ayat
Allah Subhanahu wata’ala dan hukum syariat-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang Nabi Musa
‘Alahissalam ketika menyuruh kaumnya (bani Israil) untuk menyembelih sapi.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن
تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ
أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.”
Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa
menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang jahil.” (al- Baqarah:
67)
Maksudnya, aku (Musa) tidaklah bercanda dalam hukum-hukum agama
karena hal itu adalah perbuatan orang orang yang bodoh. (Faidhul Qadir 3/18)
2. Tidak berdusta dalam
bergurau
Nabi bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya saya bercanda dan saya tidaklah mengatakan selain
kebenaran.” (HR.
ath-Thabarani dalam al-Kabir dari
jalan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya
sahih dalam Shahih al-Jami’)
3. Tidak menghina orang lain
Misalnya, menjelek-jelekkan warna kulit seseorang dan cacat
fisiknya.
4. Tidak bercanda di saat
seseorang dituntut untuk serius
Sebab, hal ini bertentangan dengan adab kesopanan dan bisa jadi
mengakibatkan kejelekan bagi pelakunya atau orang lain.
5. Tidak mencandai orang yang
tidak suka dengan candaan
Sebab, hal ini bisa menimbulkan permusuhan dan memutus tali
persaudaraan.
6. Tidak tertawa terbahak-bahak
Dahulu, tawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah dengan senyuman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallammelarang
kita sering tertawa sebagaimana sabdanya.
لاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ
كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ
“Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan
mematikan hati.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3400)
Al – Imam an – Nawawi rahimahullah menerangkan, “Ketahuilah, bercanda
yang dilarang adalah yang mengandung bentuk melampaui batas dan dilakukan
secara terus-menerus. Sebab, hal ini bisa menimbulkan tawa (yang berlebihan),
kerasnya hati, melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu
wata’ala dan
memikirkan hal-hal penting dalam agama. Bahkan, seringnya berujung pada
menyakiti orang, menimbulkan kedengkian, dan menjatuhkan kewibawaan. Adapun
candaan yang jauh dari ini semua, dibolehkan, seperti yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamdahulu,
namun tidak terlalu sering. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya untuk sebuah maslahat,
yaitu menyenangkan dan menenteramkan hati orang yang diajak bicara. Yang
seperti ini sunnah. (Syarah ath-Thibi rahimahullah terhadap al-Misykat 10/3140)
7. Tidak mengacungkan/
menodongkan senjata kepada saudaranya
Terkadang, ada orang yang bercanda dengan mengacungkan senjatanya
(pisau atau senjata api) kepada temannya. Hal ini tentu sangat berbahaya karena
bisa melukai, bahkan membunuhnya. Sering terjadi, seseorang bermainmain
menodongkan pistolnya kepada orang lain. Ia menyangka pistolnya kosong dari
peluru, namun ternyata masih ada sehingga mengakibatkan kematian orang lain.
Akhirnya dia pun menyesal karena ternyata masih tersisa padanya “peluru setan”
yang mematikan. Namun, apa mau dikata, nyawa orang lain melayang karena
kedunguannya. Ini akibat menyelisihi bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Janganlah salah seorang kalian menunjuk
kepada saudaranya dengan senjata, karena dia tidak tahu, bisa jadi setan
mencabut dari tangannya, lalu dia terjerumus ke dalam neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula sabda beliau (yang artinya), “Barang siapa mengacungkan besi kepada saudaranya, para
malaikat akan melaknatnya, meskipun ia saudara kandungnya.” (HR. Muslim dan at-
Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Larangan mengacungkan senjata
kepada saudara ini bersifat umum, baik serius maupun bercanda. Sebab, manusia
menjadi target setan untuk dijerumuskan kepada kebinasaan. Dengan sedikit saja
tersulut kemarahan, seseorang bisa tega membunuh saudaranya dengan senjata itu.
Adapun mengacungkan senjata kepada orang zalim yang menyerangnya dan akan
membunuhnya, merampas hartanya, atau melukai kehormatannya, boleh bagi
seseorang untuk menakutinakutinya dengan senjata supaya terhindar dari
kejahatannya. Apabila upaya menakuti-nakuti ini berhasil, selesailah
masalahnya. Namun, bila orang zalim itu tetap menyerang, ia boleh melakukan
perlawanan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Barang siapa menyerang kamu, seranglah ia seimbang dengan
serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
bersama orang-orang yang bertakwa.” (al- Baqarah:
194)
Tidaklah Nabi n melarang kita dari bercanda dengan senjata kecuali
karena khawatir dari (godaan) setan kepada orang yang beriman. Setan telah
mengarahkan perangkapnya kepada orang yang beriman agar terjerumus dalam
perkara yang menyeretnya kepada neraka dan kemurkaan Allah Subhanahu wata’ala. Demi menutup jalan yang berbahaya
ini, kita dilarang bercanda= yang bisa menimbulkan kejelekan dan menakut-nakuti
muslimin atau bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa. Betapa banyak petaka yang
kita saksikan karena candaan yang seperti ini. Misalnya, seseorang bercanda
dengan berteriak keras dari belakang punggung saudaranya yang sedang santai
atau di sisi telinganya sehingga dia terkejut. Semisal ini pula adalah
mengejutkan seseorang dengan memuntahkan peluru di atas kepala saudaranya untuk
menakutnakuti. Demikian pula mengejutkan orang dengan membunyikan klakson mobil
sekeras-kerasnya ketika lewat di sisinya sehingga berdebar-debar jantungnya dan
hampir copot. Ada juga mainan ular-ularan yang mirip ular sungguhan yang
dilemparkan kepada orang lain yang tidak mengetahuinya. Ia sangka itu ular
sungguhan sehingga terkejut dan takut tidak kepalang. Sungguh, candaan yang
tersebut di atas dan semisalnya telah banyak menyisakan kepiluan dan trauma
yang mendalam.” (lihat Ishlahul Mujtama’ hlm.
36—37)
8. Mengambil harta orang dengan
bercanda
Tidak dibenarkan menurut agama seseorang bercanda dengan mengambil
harta atau barang milik saudaranya, lalu dia sembunyikan di suatu tempat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ
صَاحِبِهِ لَاعِبًا وَلَا جَادًّا وَإِنْ أَخَذَ عَصَا صَاحِبِهِ فَلْيَرُدَّهَا
عَلَيْهِ
“Janganlah salah seorang kalian mengambil barang temannya (baik)
bermain-main maupun serius. Meskipun ia mengambil tongkat temannya, hendaknya
ia kembalikan kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu
Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim. Asy-Syaikh al-Albani t menyatakan hasan
dalam Shahih
al-Jami’)
Sisi dilarangnya mengambil barang saudaranya secara serius itu
jelas, yaitu itu adalah bentuk pencurian. Adapun larangan mengambil
barang orang lain dengan bergurau karena hal itu memang tidak ada manfaatnya,
bahkan terkadang menjadi sebab timbulnya kejengkelan dan tersakitinya pemilik
barang tersebut. (Aunul Ma’bud 13/346—347)
9. Tidak menakut-nakuti di
jalan kaum muslimin
Menciptakan ketenangan di tengahtengah masyarakat adalah hal yang
dituntut dari setiap individu. Tetapi, karena kebodohan dan jauhnya manusia
dari bimbingan agama, masih saja didapati orang-orang yang iseng dan bergurau
dengan menakut-nakuti di jalan yang biasa dilalui oleh orang. Bentuk menakut –
nakutinya beragam. Ada yang modusnya dengan penampakan bentuk yang menakutkan,
seperti pocongan atau suara-suara yang mengerikan, terutama di jalan-jalan yang
gelap. Model bercanda seperti ini sungguh keterlaluan karena bisa menyisakan
trauma yang berkepanjangan, terhalanginya seseorang dari keperluannya, bahkan
terhalanginya seseorang dari masjid dan majelis-majelis kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim
yang lain.” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud, lihat Shahihul Jami’no. 7659)
10. Berdusta untuk menimbulkan
tawa
Apabila seorang bercanda dengan kedustaan, ia telah keluar dari
batasan mubah (boleh) kepada keharaman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ
لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang bercerita lalu berdusta untuk membuat tawa
manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, at-Tirmidzi, dan
al-Hakim dari Mu’awiyah bin Haidah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaikh
al-Albani rahimahullahmenyatakannya hasan
dalam Shahih
al-Jami’)
Ia celaka karena dusta sendiri adalah pokok segala kejelekan dan
cela, sehingga apabila digabungkan dengan hal yang mengundang tawa yang bisa
mematikan hati, mendatangkan kelalaian, dan menyebabkan kedunguan, tentu hal
ini lebih buruk. (Faidhul Qadir 6/477) Akhirnya, kita
memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala agar diberi taufik dan bimbingan- Nya
untuk selalu lurus dalam berbuat dan berkata-kata.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam bercanda dengan orang
yang ada di sekitar kita. Jangan sampai kita bermaksud menghibur namun akhirnya
terjadi permusuhan karena salah paham. Semoga artikel tentang bercanda menurut
pandangan Islam dapat bermanfaat untuk anda.
Bagus banget
BalasHapushttp://nurulsapa.blogspot.co.id/?m=1